Maap jarang update. Gue lagi keranjingan nonton How I Met Your Mother. Sebuah serial komedi yang membuat gue jarang nulis, jarang bikin tugas kuliah, dan jarang nonton film.
Gue memang suka mencari-cari film serial. Tapi terus terang baru kali ini gue suka sama film serial yang membahas kehidupan sehari-hari. Biasanya gue lebih suka science fiction, atau lebih ke cerita yang gak wajar.
Dulu waktu masih SMA, gue tergila-gila sama serial Heroes. Tentang Hiro Nakamura, orang Jepang cupu yang bisa teleport ke mana-mana, tentang Sylar yang bisa mengambil kekuatan orang lain dengan memotong setengah kepalanya. Pokoknya tentang segala hal yang gak biasa. Cuma sayangnya, ceritanya semakin lama semakin aneh. Tahun 2009, gue berhenti mengikuti Heroes. Dan semenjak itu, gue berhenti teriak “I Did It” atau “Yatta” di Manhattan, NYC. Oke, gue juga berhenti teriak-teriak sambil angkat kedua tangan keatas, karena malu diliatin orang.
Pesan Moral: “Gak semua orang di New York itu nonton Heroes”, dan “Janganlah bertindak bodoh di negara orang”.
Nah, sekitar beberapa bulan yang lalu, gue kecanduan website 9gag. Website lucu-lucuan. Disana sering dibahas How I Met Your Mother dan serial-serial keren lainnya. Gue jadi penasaran. Film ini keluar tahun 2006 dan gue belum nonton satu episode pun. Download pun udah susah.
“Kalian telah meracuniku!!!! Aaaaaaa!!!!!”
(pic by google.com)
Temen SD gue, Anis, kebetulan suka nonton How I Met Your Mother. Akhirnya gue minjem semuaaaaaaaa season yang udah dia download. Lumayan, gue jadi gak harus download. Semenjak itu, gue jadi menontonnya setiap waktu. Kalau gue bilang setiap waktu, itu artinya bener-bener: “SETIAP WAKTUUUU”!
Sebelum dan sehabis kuliah gue nonton, sebelum dan sehabis tidur gue nonton, sebelum dan sehabis mandi gue nonton, sebelum dan sehabis makan gue nonton, pas makan juga gue nonton. Mungkin waktu tidur, gue juga tidur sambil jalan, nyalain laptop, terus nonton. Begitu aja seterusnya. Sampai semaput.
Jadi, kenapa gue suka sama serial ini. Gue akan jelaskan. Bagi yang belum nonton, gue gak akan jadi spoiler. Oke oke, gue akan jadi spoiler sedikit.
Di How I Met Your Mother ada 5 pemeran utama. Lily Aldrin yang dimainin sama Alyson Hannigan, dia adalah seorang guru teka. Suaminya Lily, Marshall Eriksen yang dimainin sama Jason Segel, dia adalah seorang environmental lawyer. Lalu ada Robin Scherbatsky yang dimainin sama Cobie Smulders, dia adalah seorang jurnalis. Ada Barney Stinson yang dimainin sama Neil Patrick Harris, seorang bankir yang sukses. Last but not Least, Ted Mosby yang dimainin sama Josh Radnor, seorang Arsitek. Ya gue tekankan sekali lagi. SEORANG ARSITEK.
Dan, kalian semua pasti bisa nebak kenapa gue suka film serial ini. Iya karena pemeran utamanya arsitek. Ted Mosby, seorang ayah di tahun 2030 menceritakan kronologis kejadian bertemu istrinya kepada 2 anaknya. Tapi, dia malah menceritakan seluruh hidupnya. Menurut gue, judulnya harus ganti dari “How I Met Your Mother” jadi “How I Met My Life”.
***
Yep, How I Met My Life. Cerita Ted Mosby sama persis dengan cerita gue. Dia bolak-balik cari pacar, putus nyambung cuma gara-gara gak cocok. Terlalu pemilih adalah masalah gue juga. He’s a thinker, I’m also a thinker. He’s an architect. I’m doing the same thing.
Karena Ted Mosby tinggal di Amerika, dia diharuskan men-design menggunakan tangan. Dia punya alat-alat yang gue juga punya. Dia mengingatkan gue akan kehidupan college di Amrik dulu, yang jarang menggunakan komputer. Ini dia satu adegan Ted Mosby yang lagi ngerjain gambarnya.
(pic by google.com)
1. Vellum
Vellum adalah kertas kalkir. Di US, sebelum menggambar di kalkir, kita harus menggambar di tracing paper atau kertas roti. Tracing Paper berguna untuk mendesign asal-asalan sebelum fix, setelah semuanya oke, kita tinggal menjiplaknya di Vellum. Kampus-kampus di Indonesia lebih memilih kertas putih HVS atau karton buku gambar. Kerugiannya, kita jadi sering menghapus. Dosen gue di Indonesia pernah bilang, “Kamu harus mendesain pake kertas roti, baru digambar lagi di kertas karton putih”. Dude, time is money. Ngapain kerja dua kali? Dengan vellum, kita tinggal menjiplak. Easy.
Gue gak tau kapan bisa pake kertas ini lagi. Kondisinya miris, gue temukan di pojok lemari dengan kondisi berdebu
2. Penggaris Bentuk
Penggaris ini berisi bentuk pintu, jendela, wastafel, dll yang udah berskala. Indonesia juga udah pake ini. Tapi gue gak bisa pake penggaris yang dibeli di US dulu. Karena US pake inches bukan cm. DAMN
Penggaris dengan skala inches, pergilah kau ke negara asalmu. Disini kamu hanya jadi pajangan.
3. Penggaris skala
Penggaris penting, karena menghitung skala menggunakan inches itu gak mudah. Indonesia beruntung memakai cm. Skalanya tinggal dikali sesuai kebutuhan. I don’t use my old scale ruler anymore huhu. *Buang ke luar jendela*
Penggaris skala inches, pergilah kembali ke laci meja belajar
4. Penggaris segitiga
Mungkin di Indonesia terkenal dengan nama mor. Tapi sebenernya kegunaannya mirip. Keuntungannnya, penggaris ini bisa digerakkan sesuai keinginan kalau mau mengukur kemiringan atap misalnya.
Oke kamu masih bisa kugunakkan. Kemarilah nak
5. Sapu kecil
Gue pernah bawa ini ke kampus di Jakarta dan diketawain. Oke alat ini memang terlihat konyol. Bentuknya seperti sapu kecil. Gunanya? Untuk menyapu bekas penghapus di atas kertas gambar. Being clean is important to be an architect. Dan arsitek muda Indonesia gak terbiasa menggunakan ini lagi.
Sapu kecil oh sapu kecil, maafkan teman-temanku karena dulu telah menertawakanmu. Tenang aku masih menggunakanmu di rumah. Tapi plis jangan bilang siapa-siapa.
“Jadi sepanjang film lo cuma liatin alat-alat itu Chy?
Iya huaaaaaaaa! Oke nggak juga, film ini bener-bener menciptakan sensasi tersendiri buat gue. Mau liat jalan hidup gue di film-in? Untuk sementara ini liat aja How I Met Your Mother.
Menjadi arsitek itu luar biasa, kita mempunyai jalan pikiran yang beda. Bisa mengubah gambar 1 dimensi menjadi 3 dimensi cuma dengan membayangkannya. Bisa melihat apa yang orang gak bisa liat (ternyata arsitek sama dukun beda-beda tipis).
Tapi, ada satu hal yang orang lain punya, kita gak punya. Waktu untuk pribadi. 24 jam setiap hari yang ada dipikiran kita cuma “mau bikin bangunan kayak gimana ya”. Atau, setiap kita masuk ke dalam bangunan, dimanapun, kapanpun, kita pasti menganalisisnya. Secara tidak sadar semua arsitek melakukannya.
Gue pribadi kehilangan waktu untuk lebih mengenal orang lain. Kalaupun pacaran, yah hanya sekedar wacana belaka. Mungkin ketika melihat wajah pacar kita, kita melihatnya sebagai bangunan. Menganalisis bentuknya. Mungkin pacar kita idungnya miring, atau kupingnya mencong. Akhirnya, itu jadi masalah.
Hal ini yang harus gue ubah. Biar gimanapun, kita terkadang harus memahami kekurangan orang lain.
“Architecture is always about making some perfection. But in human life, being 100 percent perfect is not always good.” –Echy, April 2012-
.
.
.
.
.
.
.
.
.
APRIL MOP! HAHAHA!
No man I was serious, damn you guys!
by Facebook Comment