Thursday, March 22, 2012

Road To Thailand #1 (Kantor Imigrasi)

“Hari ini gue mau ke Thailand, tapi karena gak punya duit, jadi gue mau teleport aja. Dan sukses! Gue sekarang udah di Tembok Cina!”

Sayangnya kalimat di atas gak gue katakan pagi ini.

Dan perlu diketahui, di Thailand gak ada Tembok Cina.

Yes, gue mau ke Thailand dalam rangka memenuhi satu mata kuliah. Iya di jurusan gue ada mata kuliah jalan-jalan dong. Mata kuliah yang cukup asik. Tapi berangkatnya bukan sekarang. Masih nanti. Dan, saat ini gue masih di dalam tahap persiapan. Persiapannya udah sejauh mana? Jawabannya: BELOM SAMPE MANA MANA.

Jadi, kemaren gue ditanya dosen yang kebetulan mengurus segala tetek bengek trip ini,

“Mana fotokopian passport sama KTP kamu?” Dosen sudah menagih-nagih di depan muka.

“Gak ada, Bu,” gue menjawab pelan.

“Kamu gak punya KTP!” Katanya.

“Punyalah, Bu,” lagian warga negara mana yang gak punya KTP, penghuni planet Mars pun gue rasa punya, “bukan Bu. Saya gak punya passport.”

Ikut mata kuliah ke luar negeri dan gak punya passport: adalah suatu kesalahan besar. Gue terpaksa ngibrit ke Bokap Nyokap minta dibikinin passport. Hal ini dikarenakan, gue adalah anak yang cukup cemen dan gak bisa ngurus passport sendiri.

Sebetulnya gue punya passport, tapi belum diperpanjang. Dan keluarga gue hampir lupa kalau di luar sana ada negara lain dan sewaktu-waktu kita bisa ke sana.

***

Hari ini, gue telat bangun. Akhirnya, gue terpaksa mandi bebek dan gak pake sabun. Gue juga baru inget kalo harus ngurus passport di Kantor Imigrasi Kemayoran.

Pagi-pagi gue melakukan aktifitas perkuliahan seperti biasa. Pukul 12 siang gue langsung meluncur ke kantor Imigrasi bersama seluruh keluarga.

Karena baru aja pulang kuliah. Hal pertama yang gue lihat adalah bangunan kantor Imigrasi Kemayoran.

Ini adalah tampak depan kantor imigrasi Kemayoran. Awalnya biasa saja. Tapi ketika gue sadar kalau pintu masuknya di atas, gue langsung lemes. Walaupun gue cemen, gue arsitek. Walaupun gue males kuliah, gue tetep arsitek. Walaupun gue suka tidur di kelas, gue ARSITEK!

Melihat tingginya tangga yang dibuat untuk menuju pintu masuk, gue kesel setengah mati. Apa yang dipikirkan arsiteknya ketika membuat bangunan ini?

Tangganya bener-bener tinggi. Mengingat Ines, adik gue, baru aja kegeser dengkulnya gara-gara jatoh, tentunya naik tangga setinggi itu bukan perkara mudah.

Gue juga gak liat ada lift di depan. Terus penyandang cacat gak boleh bikin passport gitu? Kalaupun ada lift di belakang, akses masuk yang susah gini udah gak wajar. Ini public building loh, gedung yang dipakai untuk umum sebagai sarana masyarakat. Pemerintah? COME ON!

***

Setelah masuk, gue harus menunggu 3 jam. Gue juga belum makan siang. Kebayang, perut gue udah konser heavy metal pada saat itu. Cacing-cacing di perut gue sudah mulai bermetamorfosis menjadi TomCat.

Selagi menunggu, gue bertemu 3 orang aneh, pertama seorang bapak-bapak tua yang ngomongnya kenceng banget. Bapak-bapak ini duduk tepat di belakang gue dan bilang,

“SAYA HARUS PERGI KE SANA… MALPRAKTEK ITU.. DIBILANGNYA BENJOLAN BIASA TAUNYA TUMOR.. MATI DIA, ADIK SAYA ITU MATI!” Dia berteriak.

Spontan semua orang nengok. Dia tetap melanjutkan sambil mengepalkan tangan ke udara seperti pejuang jaman Jepang.

“MATIIIIIIIIIIII DIA MATI GITU AJA. MATILAH DIA!”

Pesan moral, gue tau adiknya itu orang, bukan kucing. Tapi, kalau orang dan dibilang mati gitu, adiknya pasti sedih banget. Dan yang paling menyedihkan lagi, sepertinya dia pamer ke semua orang kalau adiknya sudah mati eh meninggal.

***

Kebetulan, setelah bapak-bapak tua tadi pergi, datanglah seorang lelaki muda yang duduk di sebelah gue. Gue sekeluarga duduk di kursi paralel. Kursi yang nyambung-nyambung gitu. Ketika dia dateng, gue yang lagi ngobrol jadi bete berat.

“Ma ini kkorkokrkok…. lammmma brrrangeeet sriii iiiii” (*Ma, ini kok lama banget sih)

“TOK TOK TOK TOK GREK GREK GREK”

“Iyyyyyaaa gegegegak trattau kkekkenappppa” (*Iya gak tau kenapa)

“TOK TO GREK GREEEEEEEK TOK TOK TOOOOOOOOOOK TOK TTROTOKTROTOK TOK TOK TOK,” lelaki muda tadi terus mengetuk-ngetuk kursi dan menggoyangkannya, gue berasa kayak naik bajaj di dalem kantor Imigrasi.

Gue hampir berdiri dan bilang, “Woy bisa diem gak sih”. Tapi karena gue cemen, jadi ya gak jadi. –_-

Masih menunggu menunggu menunggu dan menunggu sambil kesal. Kebetulan gue hampir gak denger waktu dipanggil. Karena,

“PRHEMEMMESSSHIIIIHIIISISJBbfffbbfbfbfbfbbfffffbbfbfbfffbfbbfff,” speaker berbicara kenceng doang tapi gak jelas.

Gue langsung tanya Nyokap, “Dia manggil siapa, Ma? hahahahhaa.”

“Gak tau tuh hahhahah,” kata Nyokap.

“Manggil nama gak jelas gitu siapa yang tau ya hahahhahaha,” kata gue.

“BFFBBFBFBBFBBFFFFFFFFFFFFFFFFSHHHHSHHHHSAZZZZAZ,” suaranya semakin kenceng tapi tetep gak jelas, sampai petugas lain mengambil alih mic.

“PRAMEISY!” damn ternyata dia daritadi manggil gue.

Setelah dipanggil, gue masuk dan berfoto-foto ria. Gue sempet minta fotonya diulang berkali-kali. Tapi hasilnya sama aja. Ternyata yang salah bukan kameranya, tapi emang muka gue yang berantakan.

Gue juga harus mengulang cap jari berkali-kali. Bukan karena sidik jari gue gak terdeteksi dan dianggep mutant. Bukan! Ini karena tangan gue selalu basah. Kemanapun, kondisi apapun, lagi ngapainpun, tangan gue selalu basah.

Dan yang paling ngeselin, petugasnya nanya, “Lahir tahun berapa?”

Gue langsung jawab, “1989.”

“Oke, kerja dimana?”

“Masih kuliah”

“Hueueueuueehehehehehe, kuliah dimana?” Petugasnya langsung ketawa ngeselin gitu.

“-___- Trisakti –__-,“ gue udah males-malesan jawab.

“Ambil jurusan apa?” Semakin lama gue ngerasa, pertanyaan di kantor imigrasi sama pertanyaan buat pedekate itu beda-beda tipis.

“Arsitektur”

Langsung diem.

Lo cuma jadi petugas yang ngurusin cap jempol, gue bisa bikin tempat kerja lo. Makanya jangan belagu.

*gue ambil juga nih mesin cap jempolnya* *dibawa pulang* *lumayan*

Sebenernya, sebelum gue diremehkan gara-gara lulus telat, gue sempet mikir kalo kerja begini pasti capek. Ngurusin banyak orang setiap hari. Membantu mempermudah orang untuk ke luar negeri. Entah untuk vacation atau bekerja.

Tapi kenapa? Kekaguman gue itu dihancurkan sepersekian detik dengan tingkah laku orang-orang ini. Kenapa? Setiap pekerjaan ada manfaatnya. Gue lulus telat juga ada alasan logisnya. Kenapa harus diremehkan? Bisa aja di masa depan gue yang bangun kantor Imigrasi itu. Who Knows?

***

Setelah selesai cap jari dan sebagainya, gue di wawancarai sekali lagi.

“Umurnya berapa?”

“22” gue menjawab singkat.

“Kerja di mana Bu?”

DAMN!

by Facebook Comment

1 comments:

nia said...

“PRHEMEMMESSSHIIIIHIIISISJBbfffbbfbfbfbfbbfffffbbfbfbfffbfbbfff,”

wkwkwkwkwkwkwkwkwk ini lucu mba

Post a Comment

Powered by Blogger.